Tulisan dengan judul ini sebenernya udah lama banget diendapkan. Jadi ceritanya dulu banget, jauh sebelum muncul istilah food blogger, saya beberapa kali dapet kerjaan ngereview cafe dan resto di Bandung untuk dimuat di majalah lifestyle. Jadinya kalo ada tempat baru, dengan gercepnya saya langsung samperin sebagai bahan tulisan. Bandung sebagai destinasi wisata kuliner no.1 pasti diburu banyak wisatawan dari luar kota. Ga bisa banget liat tempat yang gemesin dikit, trus mereka udah tau aja. Padahal yang orang Bandungnya sendiri malah ga update. Nah, karena tuntutan pekerjaan, akhirnya saya jadi tau mana resto yang hanya akan bertahan sesaat dan yang long lasting. Tapi kadang suka meleset juga. Seperti halnya waktu itu, (hmm…mungkin 7 tahunan yang lalu), saya dikejutkan dengan berita sebuah resto terkenal di Bandung yang tiba-tiba mengumumkan bahwa tempatnya resmi ditutup.
“HAAAAHHH???
SERIUS??????
ASLINYAAAAHHH ?????”
Lemes sih dengernya. Saya cuma pernah dua kali makan disana, dan menurut saya ga ada yang kurang dari tempat itu. Makanannya sangat lezat (yang sebanding dengan harganya tentu yang lumayan mahal), tempatnya nyaman dan ada di tengah kota, chefnya sangat terkenal, servicenya juga baik, customernya banyak, yang datang kesitu juga banyak banget (banyak testimoni yang menyatakan kepuasan atas hidangannya, plus tak sedikit pula artis yang membubuhi tanda tangan sebagai bukti sudah pernah mampir di tempat ini), publikasinya pun bagus; diliput berbagai majalah ternama, bahkan masuk di kolom utama majalah (atau koran) berbahasa Inggris sebagai restoran yang sangat direkomendasikan. Di tahun itu, gairah terhadap bisnis kuliner belum semarak sekarang. Sehingga banyaknya publikasi terhadap tempat ini semacam pengesahan sebagai restoran yang wajib untuk dikunjungi.
Saya pernah membaca salah satu artikel mengenai tempat ini di majalah terkenal. Ga inget semuanya sih, cuma inget part kalo chef tersebut ditanya oleh reporternya, “Mengapa buka restoran di Bandung? Kenapa ga di Jakarta, Surabaya atau kota besar lainnya di Indonesia? Mengingat nama besar chef yang sudah terkenal”.Lantas chef tersebut menjawab, “Bandung ini kotanya unik. Kalau bisa menaklukkan dan sukses berbisnis makanan di Bandung, berarti akan bisa jualan di kota mana saja”. Gitu katanya. Nah dari jawaban itu, saya kemudian mikir, “Wah serumit itu ya market Bandung…”
Sejak saat itu saya jadi sok menganalisa sendiri (tanpa teori apapun dan hanya berasumsi ditambah ke-sok-tauan belaka). Tapi pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di kepala adalah: “Apa sih maunya orang Bandung teh?”. Kemudian saya mendapatkan jawaban sendiri; konsep harus jelas, harga ga bisa mahal, tempatnya enakeun buat nongkrong, ada wifi, fasilitas lengkap, makanan harus enak, pelayanan harus ramah, ada tempat bermain buat anak, parkir enak, kabeh kudu ngeunah tapi murah. Wow, BM sekali ternyata ya? Ngebayanginnya aja udah males kan.. hahaha..ribet!
Saya lalu membandingkan dengan sebuah tempat makan yang kemunculannya hampir sama dengan boomingnya sosmed. Dalam sekejap, tempatnya langsung happening aja gitu. Tempatnya sih kecil, tapi rame ga ketulungan. Makanannya? Biasa aja dan tempatnya terlalu crowded dengan anak muda (target marketnya memang menyasar emang anak muda, saya aja yang emang udah ketuaan buat makan disitu hahaha). Harga standardlah ya, dan yang penting, minum teh bisa refill! Buat yang pengen nongkrong lama tapi duit pas-pas-an, tentu ini adalah penawaran menarik bukan? Mungkin salah satu kekuatannya adalah ia sangat memahami target marketnya yang jelas mengerucut untuk anak muda yang gemar nongkrong tapi duitnya tetap hemat. Dengan mematok harga yang bersahabat di kantong untuk sebuah paket berisi nasi, ayam goreng/gepuk, serta sambal sukses jadi omongan dimana-mana. Kayanya penduduk satu Bandung udah pernah kesana semua.
Lantas pertanyaan-pertanyaan tadi kembali muncul.“Jadi harus gimana sih kalo pengen punya bisnis kuliner yang bisa bertahan di Bandung?” Ga usah halu dululah ya pengen jadi legend kaya Tizi’s, Sumber Hidangan atau Braga Permai. Kecuali kalo kalian ga usah bayar sewa ya alias punya tempat sendiri, itu mungkin banget terjadi. Tapi saya juga yakin, semua tempat yang sekarang diberi label ‘legend’ pun pasti berdarah-darah mempertahankan semuanya hingga masih eksis hingga sekarang.
Sampai situ sebenernya ga kepikiran sama sekali akan membuat usaha yang berhubungan dengan kuliner. Dulu bahasan ini cuma jadi obrolan belaka kalo ada temen yang punya banyak duit, ngajakin bikin bisnis bareng, tapi ga tau mau bisnis apa. Yang akhirnya setelah dibeberkan beberapa fakta dan resikonya, kebanyakan hanya berakhir menjadi wacana saja as always 😀 Sungguh, saya juga tak berani berekspektasi apapun, karena bagi saya, bisnis kuliner ini terlalu banyak komponennya dan terlalu kompleks. Wacana buka tempat makan tuh selalu jadi angin lalu aja sebenernya. Maju mundur aja terus. Kadang semangat, kadang ciut. Tapi berbekal semangat nekat (plus semangat bakat ku butuh 😀 ) “Kalo ga dicoba, ga akan tau hasilnya” akhirnya sekarang kami ada disini, kecebur dan banyak pelajaran baru. Yang jelas ga mudah dan seperti halnya hidup, semua pun berproses. Seru karena dibalik tantangan-tantangan yang ditemui, kita jadi menemukan formulasi sendiri untuk menjawab pertanyaan diatas tadi. Sama seperti serunya hari Minggu besok di Keuken 10! Ceritanya kita mau nyobain konsep baru: Imah Babaturan Express! Apakah itu?? Makanya dateng dan mampir ya di booth kita (ada di tengah-tengah pokoknya).
Jadi sampai bertemu disana ya? Pssst…. kita juga punya merchandise yang akan dibagiin disana, khusus buat kamu yang jajan di booth Imah Babaturan.
Sampai bertemu !!!